Selasa, 11 September 2012

Dawai Biola


             
By : Tieti
             
               Aku terus berlari menelusuri tiap-tiap gang sempit, tertuju pada satu titik pusat, yaitu rumah ibu Tini. Ibu Tini adalah pelangggan setia jahitan emak, baik hati, ramah dan suka menolong sesama. Siang hari ini emak menyuruhku mengantar pesanan baju dinas yang dipesan 1 minggu yang lalu. Tanpa mengenal teriknya  panas matahari dan keringnya tenggorokan, aku terus berlari tanpa berhenti. Sudah menjadi kebiasaanku untuk berlari menuju rumah Bu Tini. Apalagi karena pesanannya sudah telat 3 hari.

"Ehh …. Fahri, kamu udah datang nak". Sapa Bu Tini dengan ramah.
“Iya buk,  ini pesanannya, Emak bilang maaf telat, beberapa hari ini emak tak enak badan, buk”.                “Iyaa ,, tak apa-apa nak, kirim salam dengan emakmu, sampaikan terima kasih ibu dan semoga beliau cepat sembuh ya, ini ambil uangnya Rp 100.000 dan ini Rp 5.000 untuk jajan kamu dan adik-adik Mu”.
“Terima kasih banyak Buk Tini". jawab ku dengan senang.

                Aku pulang dengan hati gembira. Sambil melihat jajanan pasar yang memanggil dan menarik  untuk membeli, tapi aku hanya mampu untuk menelan air ludah saja, mengingat emak lebih membutuhkan uang jajanku  untuk membeli obat-obatan. Aku terus berlari agar tak ada yang mampu menggoyahkankan nafsu. Tiba-tiba aku terjatuh dan lututlku mengeluarkan darah. Tidak biasanya aku terjatuh. Perasaanku mulai tak enak, aku terus berlari agar cepat sampai kerumah, tak peduli akan darah yang terus keluar.  Sesampai di gang aku melihat gumpalan awan hitam dilangit. Firasatku semakin tidak enak. Kulangkahkan kaki dengan cepat menuju perkampungan tempat tinggal kami.

“Astagfirullah …. Ya Allah , apa yang sudah terjadi dikampungku”.

“Fahrii …cepat bantu siramkan air itu”. Teriak pak dusman dari  kejauhan. Aku terus membantu warga untuk meredamkan kobaran api yang telah melalap banyak rumah dikampung. sambil menyiram, tapi hati  tak tenang karena memikirikan Emak, Ayah, Zury dan Aman adikku. “Kemana mereka.  Ya …. Allah lindungi mereka ya Rabbbb.” Gumanku dalam  hati.

Setelah beberapa mobil kebakaran datang, akhirnya 3 jam Gobaran api luluh jua. Ku pandangi satu persatu wajah-wajah yang merintis kesakitan. Melangkah  tertatih yang tak peduli lagi darah yang bercucuran dari lutut. Tapi tak satu pun terlihat keluargaku. Aku berjalan lebih cepat sambil memanggil nama mereka. Tak ada yang menyahut panggilanku, dan ku putuskan untuk melihat rumah, tapi ternyata rumah kami telah habis dilalap api. Hanya tinggal beberapa tiang yang masih bersisa.

            Kumasuki perlahan yang dulu pelindung dari panas dan hujan turun, atapnya  tak lagi bolong, dindingnya tak lagi bercelah. Pelaponnya tak lagi berayap, karena sekarang rumahku tak berlapis material bangunan lagi. Ku berlutut sujud diatas tanah, menangis, dan memohon ampun kepada Sang Khalik.
Tak sengaja kulihat peti yang tersisa di bawah yang dulunya tempat tidur emak. Ku mencoba untuk membuka dan ini adalah biola yang sering ayah mainkan. Untunglah Biola ini tak rusak, hanya sampul luar yang sedikit hangus karna lalapan api.

“Ayah, emak, Zury,dan Aman adikmu tidak terselamatkan Fahri”. Ucap pak Dusman terbata-bata sambil memeluk tubuhku dari belakang dengan erat.  Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulutku, selain air mata yang  perlahan bergerak menuju gravitasi bumi.

“Ya … Allah kenapa Engkau ambil semua yang ku punya Ya Allah, Apa salah ku, Apa dosa keluargaku,  tidakkah Engkau kasihan dengan Ku, tidak kah kau mau menyisakan 1 orang dari kluarga untuk Ku. Tak ada lagi yang peduli dengan teriakanku, tak ada lagi yang menghapus air mataku, tak ada lagi yang setia mendengar keluh kesah, tak ada lagi …. Tak ada lagi mereka sekarang.”
***
           Langit tak lagi gelap dengan gumpalan asap hitam. Biru muda bercampur awan putih menyelimuti  langit sore. Hanya surau ini satu-satunya bisa kujadikan tempat berteduh dari dinginnya malam, dan terik matahari. Membatu pak Dusman menjaga surau kini menjadi tugasku keseharian. Dan ketika waktu senggang ada, kupandang erat harta satu-satunya yang tak sempat terhamuk oleh si jago merah ialah Biola kesayang Ayah. Ku coba untuk menggesekkan walau aku tak tahu cara memainkannya. Teringat oleh ku saat Ayah memainkannya, dan ucapan terakhir ayah saat mengalunkan nada indah dibalik dawai biola ini.
“Fahri, jikau kau ingin memainkan Biola ini, satukan helai-helai rambut kuda pada senarnya, gesek dan alunkan dengan hatimu, pejamkan mata sejenak dan rasakan nadanya.”

SubhanAllah  ya Rabbb, dibalik kerapuhanku, dibalik keputus asaan ku, Di balik kegundahanku.  Ternyata Engkau tak mengabaikan makhluk yang terisa sebatang kara ini. Engkau kirim banyak Hikmah di balik kejadian ini. Engkau memberi kekuatan dibalik Dawai Biola ini. Jikalah  aku menjadi sebuah biola yang bersenar namun tak memiliki penggesek yang terbuat dari helai2 rambut kuda ini, tentu tak kan menjadi nada yang indah. Namun ketika kita alunkan menjadi nada indah ia tidak hanya menyenangkan pemiliknya saja, tetapi juga membuat kuping2 yang mendengar mampu menyejukan hati setiap insan di muka bumi.

                Hari demi hari telah aku lalui, memainkan biola adalah sumber mata pencaharian ku. Menjadi pemain musik keliling sekarang jabatan profesiku disela-sela rutinitas sebagai pembersih mesjid. Dan satu hikmah yang terbesar yang aku rasakan, yakni sekarang aku berdiri di atas podium yang disaksikan oleh ratusan masyarakat. Yang ditatap oleh ribuan mata di layar televisi.  Dan kini aku si Muhammad Fachry akan menyejukkan kobaran api dengan alunan nada dawai biolanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar